-->

Kebudayaan Mentalitas dan Kebudayaan

Universitas Gundarma

Nilai Budaya, Sikap Mental dan Mentalitas menurut Koentjaraningrat

Suatu sistem nilai-budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai-budaya itu.

Sebagai bagian dari adat-istiadat dan wujud ideel dari kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak kecil telah diresapi dengan nilai-nilai budaya yang hidup yang masyarakat sehingga konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat.

Sikap mental, walaupun sering dikacaukan dengan istilah sistem nilai-budaya, sebenarnya mempunyai arti yang sama sekali berlainan. Konsep sistem nilai budaya atau cultural value system itu banyak dipakai dalam ilmu-ilmu sosial yang terutama memfokus kepada kebudayaan dan masyarakat. Sebaliknya, konsep sikap mental atau attitude itu, banyak dipakai dalam ilmu psikologi terutama memfokus kepada individu dan baru secara sekunder kepada kebudayaan dan masyarakat yang merupakan lingkungan dari individu.

Mentalitas bukan merupakan suatu konsep ilmiah dengan suatu arti yang ketat. Mentalitas termasuk istilah sehari-sehari dan biasanya diartikan sebagai ; Keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menanggapi lingkungannya.Intinya, istilah ini mengenai sistem nilai-budaya maupun sikap mental dna bisa kita gunakan pada saat kita membicarakan kedua hal tersebut, tanpa bermaksud untuk secara ketat mengkhusus terhadap salah satu atau keduanya.

Karena merupakan bagian dari adat, suatu sistem nilai-budaya biasanya dianut oleh suatu persentase yang besar dari warga sesuatu masyarakat. Sebaliknya, karena berada dalam jiwa individu, suatu sikap sering hanya ada pada individu-individu tertentu dalam masyarakat. Walaupun demikian, ada juga sikap-sikap tertentu yang karena terpengaruh oleh sistem nilai-budaya, bisa didapatkan secara lebih meluas pada banyak individu dalam masyarakat.

Contohnya adalah seorang mahasiswa jurnalistik diajarkan untuk memiliki sikap independen terhadap sebuah pemberitaan. Karena seorang jurnalis harus memposisikan dirinya dalam posisi netral. Tetapi akan berbeda ceritanya ketika dia memasuki dunia kerja. Misalnya dia diterima bekerja di sebuah media cetak yang menuntut dia untuk membuat bekerja atas kepentingan perusahaan. Maka sikapnya kemudian terpengaruh oleh nilai-budaya yang menganggap bahwa seorang jurnalis harus berada pada posisi netral dalam pemberitaanya.

Tipe-tipe Mentalitas Budaya menurut Sorokin

Kunci untuk memahami suatu supersistem budaya yang terintegrasi adalah mentalitas budayanya. Konsep ini mengacu pada pandangan dunia (word view) dasar yang merupakan landasan sistem sosio-budaya. Pandangan dunia yang asasi dari suatu sistem sosio-budaya merupakan jawaban yang diberikan atas pertanyaan mengenai hakikat kenyataan terakhir. Ada tiga jawaban logis yang mungkin terhadap pertanyaan filosofis dasar itu. Pertama adalah bahwa kenyataan akhir itu seluruhnya terdiri dari dunia materiil yang kita alami dengan indera. Yang lainnya adalah bahwa kenyataan akhir itu terdiri dari suatu dunia atau tingkat keberadaan yang melampaui dunia materiil ini ; artinya kenyataan akhir itu bersifat transenden dan tidak dapat diungkap sepenuhnya dengan indera kita. Jawaban ketiga yang mungkin adalah antara kedua ekstrem dan keadaan itu, yang secara sederhana berarti bahwa kenyataan itu mencakup dunia materil dan dunia transenden.

Sehubungan dengan pertanyaan itu ada beberapa pertanyaan yang menyangkut kodrat manusia dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Secara hakiki, pertanyaan-pertanyaan ini harus mencakup apakah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia itu bersifat fisik atau spiritual, luasnya kebutuhan yang seharusnya dipenuhi ; dan apakah pemenuhan kebutuhan manusia itu harus mencakup penyesuaian diri (sedemikian, sehingga kebutuhan-kebutuhan itu sendiri dikurangi) atau penyesuaian lingkungan (sedemikian sehingga kebutuhan itu dapat dipenuhi).

Atas dasar itu, Sorokin menyebutkan tiga mentalitas budaya dan beberapa tipe-tipe kecil yang merupakan dasar untuk ketiga supersistem sosio-budaya yang berbeda-beda itu.

Kebudayaan Ideasional

Tipe ini mempunyai dasar berpikir (premis) bahwa kenyataan akhir itu bersifat nonmateril, transenden, dan tidak dapat ditagkap oleh indera. Dunia ini dilihat sebagai suatu ilusi, sementara, tergantung pada dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Kenyataan akhir merupakan dunia Allah atau nirwana, atau suatu konsepsi lainnya mengenai ada yang kekal dan tidak materil. Tingkat ini dipecah menjadi dua bagian :
  • Kebudayaan Ideasional Asketik. Mentalitas ini memperilihatkan suatu ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin kebutuhan materil supaya mudah diserap ke dalam dunia transenden.
  • Kebudayaan Ideasional Aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras dengan dunia transenden.

Kebudayaan Inderawi

Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang kita alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang ada. Eksistensi kenyataan adi-inderawi atau yang transenden disangkal. Mentalitas ini dapat dibagi sebagai berikut :
  • Kebudayaan Inderawi Aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif dan giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan kebutuhan materiil dengan mengubah dunia fisik ini sedemikian, sehingga menghasilkan sumber-sumber kepuasan dan kesenangan manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan kemajuan-kemajuan ilmiah serta kedokteran.
  • Kebudayaan Inderawi Pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hasrat untuk mengalami kesenangan-kesenangan hidup inderawi setinggi-tingginya. Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu “eksploitasi parasit”, dengan motto,” Makan, minum, kawinlah, karena besok kita mati”. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi oleh suatu tujuan jangka panjang apapun.
  • Kebudayaan Inderawi Sinis. Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan-tujuan inderawi/jasmaniah dibenarkan oleh rasionalisasi ideasional. Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar usaha yang bersifat munafik (hipokrit) untuk membenarkan pencapaian tujuan materialistis atau inderawi dengan menunjukkan sistem nilai budaya transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.

Kebudayaan Campuran

Kategori ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir (premis) mentalitas ideasional dan inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat dalam mentalitas kebudayaan campuran ini :

  • Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran organis dari mentalitas ideasional dan inderawi sedemikian, sehingga keduanya dapat dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai aspek-aspek tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar berfikir kedua tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling berhubungan.

  • Kebudayaan Ideasional Tiruan (Pseudo-Ideational Culture). Tipe ini khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, sebagai suatu perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti sebelumnya, kedua perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.

Analisa Sorokin mengenai berbagai mentalitas budaya dapat dibandingkan dan dikontraskan dengan gambaran Comte mengenai tiga tahap dalam evolusi perkembangan intelektual manusia. Seperti sudah kita di depan, kedua teori ini sangat bercorak “mentalistis” ; artinya, keduanya melihat gagasan-gagasan dasar yang terkandung dalam pandangan-pandangan dunia yang dominan atau gaya berfikir mengemukakan bahwa sejarah manusia meperlihatkan kemajuan uni-linier, yang didasarkan pada perkembangan ilmu, yang akan bergerak maju tak terbatas ke masa depan. Sorokin mempertahankan bahwa ketiga tipe mentalitas budaya yang asasi itu datang berulang dalam bentuk siklus. Dengan kata lain, periode ideasional diikuti oleh periode idealistis baru, yang akan diikuti oleh periode inderawi, yang diikuti oleh suatu bentuk campuran (biasanya tidak idealistis), yang diikuti oleh satu periode ideasional baru , dan seterusnya.

Budaya Lokal dan Pembangunan di Indonesia

Hasil kajian antropologis dari Michael R.Dove dan kawan-kawannnya melihat interaksi antara kebijaksanaan pembangunan nasional Indonesia dan aneka ragam budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Pesan utama yang hendak disampaikan dari hasil penelitian tidak harus terbelakang. Baginya budaya tradisional sangat dan selalu terkait dengan proses perubahan ekonomi, sosial dan politik dari masyarakat pada tempat mana budaya tradisional tersebut melekat. Jika demikian halnya, bagi Dove budaya tradisional selalu mengalami perubahan yang dinamis, dan oleh karena itu budaya tradisional tidak menggangu proses pembangunan.

Untuk keperluan menyampaikan pesan tersebut, Dove menyarikan dengan singkat sikap dan pandangan yang salah dari kebanyakan ilmuwan sosial dan pengelola pembangunan Indonesia terhadap budaya tradisional yang dijumpai di Indonesia. Menurut Dove, mereka melihat budaya tradisional sebagai tanda keterbelakangan dan sebagai penghambat tercapainya kemajuan sosial ekonomis. Paling baik, budaya tradisional dilihatnya sebagai kekayaan nasional yang tidak berharga ; dan yang lebih sering budaya tradisional dilihatnya sebagai faktor yang menggangu proses modernisasi atau paling tidak budaya tradisional sering dianggap sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap kegagalan modernisasi. Jika demikian halnya, tidak heran jika kebanyakan ilmuwan sosial dan perencanaan pembangunan Indonesia selalu berusaha melakukan devaluasi, depresiasi, atau bahkan eliminasi dari keseluruhan bentuk dan isi budaya tradisional.

Lahirnya pandangan yang salah menurut  Dove karena beberapa faktor berikut ini. Pendapat ini sangat berkaitan dengan ciri penelitian yang ada di Indonesia. Amat jarang dijumpai penelitian budaya tradisional yang dilakukan secara cermat. Kalaulah ada, penelitian tersebut telah diatur sedemikian rupa sehingga tidak didapatkan analisa dan hasil penelitian yang secara detail mencerminkan interaksi kompleks yang terjadi antara kelompok masyarakat pemilik dan pendukung budaya tradisional dengan proyek-proyek pembangunan. Secara metodologis, tidak berelebihan jika dikatakan, bahwa penelitian tersebut telah dengan sengaja menghindar dari pelaksanaan proses penelitian tersebut telah dengan sengaja menghindar dari pelaksanaan proses penelitian yang akurat. Para peneliti enggan untuk bertemu muka dengan kelompok sasaran penelitian, dan kalaulah bertemu muka, hampir dapat dipastikan selalu berdampingan dengan petugas pemerintah, yang dalam banyak hal berpengaruh terhadap kualitas data yang hendak dikumpulkan.

Sikap negatif terhadap budaya tradisional yang dimiliki oleh sebagian besar ilmuwan sosial dan pelaksana pembangunan Indonesia ini terjadi juga sebagai akibat dari kurang atau bahkan tidak adanya budaya ilmiah yang tinggi di kalangan peneliti. Sebagian besar laporan penelitian proyek pembangunan hanya diketahui oleh agen dan penanggung jawab penelitian, yang dari padanya sangat mungkin terbuka kesempatan terjadinya persetujuan untuk tidak saling kritis menilai laporan tersebut. Ilmuwan sosial lain yang secara langsung tidak memiliki kepentingan ekonomis dan politis terhadap laporan penelitian tersebut amat jarang dilibatkan. Lebih dari itu, laporan penelitian yang seperti ini biasanya tidak akan berlanjut dengan usaha untuk menerbitkannya dalam jurnal ilmiah, yang memang amat jarang dijumpai di Indonesia.

Kelemahan Mentalitas Masyarakat Indonesia Untuk Pembangunan

Revolusi fisik bangsa kita telah berhasil membawa kita menjadi suatu Negara yang berdaulat, memiliki harga diri sebagai bangsa dan memiliki hasrat untuk bersatu.

Sebaliknya, revolusi kita telah membawa akibat post-revolusi berupa kerusakan fisik dan mental, terabaikannya ekonomi dan kehidupan ekonomi yang kacau. Munculnya permasalahan ekonomi tersebut seiring dengan kemunduran-kemunduran sektor kehidupan social-budaya lainnya. Selain itu juga memunculkan beberapa sifat kelemahan mentalitas orang Indonesia yang cenderung menjauhkan bangsa kita dari jiwa pembangunan.

Dalam buku Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan karya Koentjaraningrat, (1993:37) Sifat-sifat kelemahan mentalitas masyarakat yamg timbul setelah revolusi sebagai akibat dari perasaan ragu, tanpa pedoman dan tanpa orientasi yang tegas itu adalah:

Mentalitas yang meremehkan mutu

Kebutuhan akan kualitas dari hasil karya kita, dan rasa peka kita terhadap mutu sudah hampir hilang. Hal itu disebabkan oleh akibatnya dari kemiskinan menghebat yang melanda bangsa kita. Demikian kita sampai tak sempat memikirkan mengenai mutu dari pekerjaan yang dihasilkan dan mutu dari barang dan jasa yang kita konsumsi. Kita kerap merasa cepat puas dengan mutu yang seadanya dan yang terpenting tersedia.

Erat kaitannya ini dengan tak adanya unsur saingan dalam hal menghasilkan pangan, sandang, dan barang ekspor, dalam memberi jasa, dan dalam hal karya ilmiah. Memang masih terlampau terbatas kapasitas produksi kita dalam segala lapangan di negara kita. Serupa dengan di banyak negara yang sedang berkembang, di sini sebagian besar dari produksi masih di monopoli oleh sejumlah orang mampu dan tenaga ahli yang amat terbatas. Perlu kita ingat bahwa mentalitan itu dalam masayarakat kita juga jelas disebabkan karena proses penyebaran, pengluasan, pemerataan, dan extensifikasi dari sistem pendidikan kita yang tidak disertai dengan perlengkapan sewajarnya dari prasarana-prasarana pendidikan.

Mentalitas yang suka menerabas

Mentalitas yang suka menerabas adalah pemikiran manusia yang berkeinginan untuk mencapai tujuan hidupnya secepat mungkin tanpa disertai usaha dari awal secara maksimal dan tidak mempertimbangkan dampak yang akan ditimbulkannya. Dalam masayarakat Indonesia sekarang ini tampak terlampau banyak usahawan baru yang mau saja mencapai dan memamerkan taraf hidup yang mewah dalam waktu secepat-cepatnya, dengan cara-cara tak lazim, atau dengan cara “menyikat, keuntungan sebesar-besarnya mumpung ada kesempatan”, tanpa mau untuk mulai dari bawah dan mengenyam pahit getirnya masa permulaan berusaha.

Sudah tentu mentalitas menerabas itu pada dasarnya juga dapat disamakan dengan “mentalitas mencari jalan paling gampang”, dan ditinjau dari sudut itu mentalitas menerabas itu pada hakekatnya suatu sikapa yang boleh dikata universal, dan ada pada hampir semua manusia dalam segala macam bentuk dan lingkungan budaya di dunia.

Dalam masyarakat Indonesia yang tradisional, rupa-rupanya ada pula konsep-konsep adat yang berfungsi sebagai pengekang mentalitas mencari jalan pintas. Hal ini tampak dari peribahasa nenek moyang kita dahulu yang menjunjung tinggi konsepsi mengenai garis panjang kemajuan hidup, misalnya perkataan seorang ibu “Orang yang belum mantu, yang belum mengawinkan anaknya pertama, pantang membangun rumah. Kalau pantangan itu dilanggar tentu rumah itu akan membawa malapetaka dalam hidupnya”. Nasehat orangtua seperti itu pada masa sekarang mungkin akan kita tertawakan dan dianggap takhayul, tetapi kalau kita renungkan makna dari omongan seperti itu secara lebih mendalam, maka tampak di belakangnya suatu maksud mengintensifkan pandangan akan garis panjang kemajuan hidup, dan suatu maksud mencegah mentalitas menerabas.

Mentalitas tersebut merupakan akibat dari mentalitas yang meremehkan mutu akibat kurangnya pemahaman mengenai norma-norma yang ada dalam masyarakat.

Sikap post-revolusi seperti orientasi vertikal yang mengutamakan suatu kepatuhan terhadap orang yang memiliki strata tinggi dalam masyarakat yang sebenarnya juga merupakan nilai-nilai dari budaya tradisional dalam kebiasaan hidup kita sehari-hari akan memicu kelemahan mentalitas bangsa kita seperti:

Sifat tak percaya kepada diri sendiri

Sifat tersebut merupakan akibat dari serangkaian kegagalan, terutama kegagalan dalam bidang pembangunan bangsa Indonesia semenjak pasca revolusi, sebagai akibat merosotnya sistem nilai budaya yang dialami masyarakat sejak dulu.

Hal ini kita asumsikan bahwa golongan para pegawai dan priyayi, yang terlampau banyak berorientasi vertikal terhadap tokoh-tokoh atasan dan senior. Dalam zaman kolonial nilai-budaya itu telah menimbulkan rasa kekurangan akan kemampuan sendiri, dibandingkan dengan si penjajah berkulit putih. Pada masa sekarang ini pun kita masih selalu lebih percaya dan mendengarkan pendapat orang asing dari pada pendapat para ahli bangsa sendiri.

Sifat tak berdisiplin murni

Sifat tak disiplin ini merupakan sumber dari berbagai permasalahan sosial-budaya yang sedang dihadapi oleh bangsa kita saat ini. Orientasi vertikal yang mengutamakan kepatuhan pada pemimpin menyebabkan masyarakat hanya berdisiplin pada saat didepan pimpinannya saja, bukan merupakan sikap disiplin yang bersumber dari hati nurani.

Sifat tak bertanggung jawab

Nilai budaya tradisional yang berorientasi vertikal mengakibatkan pola pikir masyarakat yang hanya bersikap tanggungjawab pada saat di depan pimpinan. Merosotnya kesadaran masyarakat untuk bertanggungjawab sama halnya dengan menurunnya sikap disiplin masyarakat. Munculnya sikap-sikap tersebut tak lepas dari rendahnya pendidikan dan kematangan watak.

Cara Membina Mentalitas Pembangunan

Mengenai cara membina mentalitas pembangunan ini, Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, mewajibkan sebagai syarat suatu nilai-budaya yang berorientasi ke masa depan, suatu sifat hemat, suatu hasrat untuk berexplorasi dan berinovasi, suatu padangan hidup yang menilai tinggi achievement dari karya, suatu nila-budaya yang kurang berorientasi vertikal, suatu sikap lebih percaya kepada kemampuan sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri.

Namun sifat-sifat itu belum secara mantap berada dalam mentalitas dari sebagian besar bangsa kita. Bertambah pula bahwa terutama sesudah zaman revolusi sifat-sifat seperti tak percaya kepada kemampuan sendiri, mengendornya disiplin, dan berkurangnya rasa tanggung jawab, makin menjadi buruk. Disamping itu timbul sifat-sifat mentalitas lemah lain seperti menghilangknya rasa kepekaan terhadap mutu, dan mentalitas menerabas. Jelaslah masih banyak yang harus di robah dari mentalitas lemah masayarakat Indonesia saat ini.

Koentjaraningrat melanjutkan bahwa terdapat jalan yang bisa merobah mentalitas tersebut adalah:

Dengan memberi contoh yang baik

Dalam hal memberi contoh yang baik kita bisa menggunakan suatu nilai budaya yang terlampau berorientasi vertikal ke arah atasan, sebagai alat untuk merobah beberapa sifat lemahdalam mentalitas kita.

Asumsinya ialah bahwa karena banyak masyarakat Indonesia mempunyai suatu mentalitas yang terlampau berorientasi ke atasan, pembesar-pembesar, maka asalkan saja orang-orang pembesar itu memberi contoh yang benar maka banyak orang bawahan akan mencontoh dan mengikuti. Contoh misalkan dari atasan pengawasan yang lebih ketat diatas, dapat dikembangkan kembali misalnya sikap berdisiplin, dan keberanian untuk bertanggung jawab sendiri.

Dengan memberi perangsang-perangsang yang cocok

Untuk mencapai suatu pengertian motivasi yang bisa bisa menggerakan beraneka ragam orang Indonesia itu supaya bersikap begini atau berbuat begitu, maka dibutuhkan suatu hal yang bisa memicunya. Misalkan suatu hal yang bisa mendorong orang menjadi lebih baik berhasrat untuk menabung uangnyadi bank, adalah tentunya dengan bunganya yang  menarik. Namun hal ini tidak cukup disana saja, dibalik hal ini semua yang terpenting adalah pelayanan yang baik, agar masyarakat tidak merasa sungkan dan membenci untuk menabung di bank.

Dengan persuasi dan penerangan

Merupakan jalan lain yang sebenarnya harus diitensifkan oleh para ahli penerangan dan ahli media massa. Artinya bahwa media massa mempunya peranan untuk mengajak masyarakat dan menyampaikan kebijakan pemerintah mengenai pembangunan. Hal ini tidak hanya termasuk sebagai iklan layanan masyarakat semata, namun hal ini harus diprioritaskan demi membentuk karakteristik mental masyarakat untuk membangun bersama.

Dengan pembinaan terhadap generasi baru sejak kecil

Perlu ditanamkan suatu mentalitas pembangunan yang baru. Dengan sadar dan sengaja, agar kedepannya lagi mereka bangga akan usaha dan kemampuannya sendiri, yang mempunyai suatu achievement orientation yang tinggi, yang mempunyai suatu rasa disiplin yang murni, yang berani bertanggung jawab sendiri, dan yagn mempunyai suatu perasaan peka terhadap mutu.

Demi menyukseskan pembinaan terhadap generasi muda sekarang ini, dibutuhkan orang-orang pendidik, namun hal ini juga tidak terlepas dari peran orang tua juga dalam membina anaknya ketika dilingkunagan keluarga.

Mental Berbudaya Menuju Masyarakat Berkarakter

Penulis menegaskan sekali lagi bahwa sikap mental masyarakat Indonesia bersumber dari nilai budaya masyarakat itu sendiri. Artinya transformasi nilai-nilai budaya ke dalam pembangunan mental akan membuat masyarakat memiliki mental berbudaya. Dengan begitu, masyarakat kita akan memiliki karakter yang kuat dan menjadi masyarakat yang kuat pula. Gerakan-gerakan tranformasi nilai-nilai budaya ke dalam pembangunan mental harus terus-menerus digalakkan. Konsep penanaman nilai-nilai budaya akan menghasilkan masyarakat yang memiliki identitas dalam hidupnya dan nilai-nilai tersebut bisa menjadi model penanaman nilai-nilai yang nantinya diberlakukan secara komunal. Tujuannya tidak lain sebagai modal mengahadapi tantangan perubahan sosial dalam pengembangan pembangunan di Indonesia. Tanpa karakter yang kuat kita tidak akan bisa menunjukkan eksistensi bangsa di mata dunia. Nilai-nilai budaya tidak eksklusif melainkan terbuka dan sebagai filter agar kita tidak didominasi oleh bangsa lain. Masyarakat dengan karakter yang kuat adalah masyarakat yang memiliki mental berbudaya.

Kesimpulan

Dari pemaparan dari bab-bab sebelumnya maka penyusun menarik kesimpulan bahwa:
  • Kelemahan mentalitas pembangunan masyarakat Indonesia adalah Mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas yang suka menerabas, sifat tak percaya kepada diri sendiri, sifat tak berdisiplin murni, sifat tak bertanggungjawab. Hal ini jug tak luput dari pengaruh besar zaman revolusi, orde baru, serta reformasi, dalam pembentukan mentalitas bangsa ini.
  • Cara membina mentalitas untuk pembangunan yang mungkin bisa merubah lemahnya mentalitas bangsa kita adalah dengan adanya memberi contoh yang baik, dan adanya pembinaan terhadap generasi muda agar kedepanya akan lebih bangga dan peraya diri terhadap karya sendiri.

Saran  

Dari pemaparan diatas, maka penyusun dapat memberi saran sedikit mengenai mentalitas pembangunan masyarakat Indonesia:
  • Harus adanya konsepsi arah pembangunan yang seperti apa yang diinginkan oleh pemerintah, agar masayarakat jug bisa dirangkul bersama demi menyuksesinya.
  • Harus adanya kesimultanan antara pembentukan mentalitas yang positif mengenai pembangunan dengan usaha pembangunan itu sendiri, sehingga menjadi suatu usaha penunjang pembangunan yang penting.

LihatTutupKomentar